The Kiss by Kate Chopin

It was still quite light out of doors, but inside with the curtains drawn and the smouldering fire sending out a dim, uncertain glow, the room was full of deep shadows.

Brantain sat in one of these shadows; it had overtaken him and he did not mind. The obscurity lent him courage to keep his eves fastened as ardently as he liked upon the girl who sat in the firelight.

She was very handsome, with a certain fine, rich coloring that belongs to the healthy brune type. She was quite composed, as she idly stroked the satiny coat of the cat that lay curled in her lap, and she occasionally sent a slow glance into the shadow where her companion sat. They were talking low, of indifferent things which plainly were not the things that occupied their thoughts. She knew that he loved her–a frank, blustering fellow without guile enough to conceal his feelings, and no desire to do so. For two weeks past he had sought her society eagerly and persistently. She was confidently waiting for him to declare himself and she meant to accept him. The rather insignificant and unattractive Brantain was enormously rich; and she liked and required the entourage which wealth could give her.

During one of the pauses between their talk of the last tea and the next reception the door opened and a young man entered whom Brantain knew quite well. The girl turned her face toward him. A stride or two brought him to her side, and bending over her chair–before she could suspect his intention, for she did not realize that he had not seen her visitor–he pressed an ardent, lingering kiss upon her lips.

Brantain slowly arose; so did the girl arise, but quickly, and the newcomer stood between them, a little amusement and some defiance struggling with the confusion in his face.

“I believe,” stammered Brantain, “I see that I have stayed too long. I–I had no idea–that is, I must wish you good-by.” He was clutching his hat with both hands, and probably did not perceive that she was extending her hand to him, her presence of mind had not completely deserted her; but she could not have trusted herself to speak.

“Hang me if I saw him sitting there, Nattie! I know it’s deuced awkward for you. But I hope you’ll forgive me this once–this very first break. Why, what’s the matter?”

“Don’t touch me; don’t come near me,” she returned angrily. “What do you mean by entering the house without ringing?”

“I came in with your brother, as I often do,” he answered coldly, in self-justification. “We came in the side way. He went upstairs and I came in here hoping to find you. The explanation is simple enough and ought to satisfy you that the misadventure was unavoidable. But do say that you forgive me, Nathalie,” he entreated, softening.

“Forgive you! You don’t know what you are talking about. Let me pass. It depends upon–a good deal whether I ever forgive you.”

At that next reception which she and Brantain had been talking about she approached the young man with a delicious frankness of manner when she saw him there.

“Will you let me speak to you a moment or two, Mr. Brantain?” she asked with an engaging but perturbed smile. He seemed extremely unhappy; but when she took his arm and walked away with him, seeking a retired corner, a ray of hope mingled with the almost comical misery of his expression. She was apparently very outspoken.

“Perhaps I should not have sought this interview, Mr. Brantain; but–but, oh, I have been very uncomfortable, almost miserable since that little encounter the other afternoon. When I thought how you might have misinterpreted it, and believed things” –hope was plainly gaining the ascendancy over misery in Brantain’s round, guileless face–“Of course, I know it is nothing to you, but for my own sake I do want you to understand that Mr. Harvy is an intimate friend of long standing. Why, we have always been like cousins–like brother and sister, I may say. He is my brother’s most intimate associate and often fancies that he is entitled to the same privileges as the family. Oh, I know it is absurd, uncalled for, to tell you this; undignified even,” she was almost weeping, “but it makes so much difference to me what you think of–of me.” Her voice had grown very low and agitated. The misery had all disappeared from Brantain’s face.

“Then you do really care what I think, Miss Nathalie? May I call you Miss Nathalie?” They turned into a long, dim corridor that was lined on either side with tall, graceful plants. They walked slowly to the very end of it. When they turned to retrace their steps Brantain’s face was radiant and hers was triumphant.

 

Harvy was among the guests at the wedding; and he sought her out in a rare moment when she stood alone.

“Your husband,” he said, smiling, “has sent me over to kiss you. “

A quick blush suffused her face and round polished throat. “I suppose it’s natural for a man to feel and act generously on an occasion of this kind. He tells me he doesn’t want his marriage to interrupt wholly that pleasant intimacy which has existed between you and me. I don’t know what you’ve been telling him,” with an insolent smile, “but he has sent me here to kiss you.”

She felt like a chess player who, by the clever handling of his pieces, sees the game taking the course intended. Her eyes were bright and tender with a smile as they glanced up into his; and her lips looked hungry for the kiss which they invited.

“But, you know,” he went on quietly, “I didn’t tell him so, it would have seemed ungrateful, but I can tell you. I’ve stopped kissing women; it’s dangerous.”

Well, she had Brantain and his million left. A person can’t have everything in this world; and it was a little unreasonable of her to expect it.

Catatan Hati yang Jauh dari Allah

Ketika kita mencintai atau merasa memiliki sesuatu yang sesungguhnya hanya dititipkan oleh Allah, di sanalah kekecewaan dan kesedihan akan menghampiri. Padahal, tidak ada satu pun hal baik itu berupa harta, pasangan hidup bahkan akal dan perasaan sekalipun yang menjadi milik kita seutuhnya. Hamba Allah yang yakin segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah adalah mereka yang tidak berlebih-lebihan dalam bersuka cita ketika meraih sesuatu juga tidak bersedih yang berkepanjangan ketika sesuatu direnggut darinya.

Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman.” (Q.S. 3:139)

Ada banyak sekali cara Allah mencintai kita. Ketika Allah menjatuhkan kita ke dalam kesedihan, di sanalah Allah ingin kita belajar bahwa hidup ini hanya rangkaian episode-episode yang tidak selalu bahagia dan hanya kepada Allah lah kita datang serta kembali. Ketika Allah mengambil harta-harta kita lantas kita sedih berlarut-larut dan tak kunjung ikhlas maka saat itulah Allah melihat keimanan kita kepadaNya, apakah kita yakin segala yang terjadi pada kita adalah demi kebaikan kita atau tidak. Padahal Allah adalah Ar Rahman yaitu Maha Pengasih dan Ar Rahiim yaitu Maha Penyayang. Adakah rasa ragu di dalam hati-hati kita bahwa Allah sungguh mengasihi dan menyayangi kita dengan caraNya? Bahkan ketika Allah menitipkan gelar atau jabatan tinggi kepada kita, di sanalah Allah hendak menguji apakah kita termasuk hamba yang sanggup menanggung berbagai ujian dan beban tanggung jawabnya?

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman” dan mereka tidak diuji?” (Q.S. 29:2)

Ya Allah, ketika Engkau cemburu atas apa yang membuat aku berpaling dariMu, hamba ikhlas Engkau renggut ia dariku.

Dari Abu Hurairah radiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah Maha Pencemburu dan kecemburuan Allah (yaitu) ketika seorang mu’min mendatangkan (melakukan) apa-apa yang telah Allah haramkan atasnya.” Muttafaq ‘alaihi.

Dan hamba yakin Engkau tahu seberapa jauh aku mampu diuji. Engkau tidak pernah memberikan ujian kecuali aku sanggup menanggungnya.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..” (Q.S. 2:286)

Ya Allah, ketika Engkau titipkan karuniaMu kepadaku, hamba mohon titipkanlah pula rasa takut akan berpalingnya hati ini dari mencintaiMu sebab rapuh dan ringannya iman ini seringkali membawaku pada kesesatan yang menyebabkan aku mendua dariMu.

Ya Allah, ketika Engkau buat harta dan kecintaanku pergi begitu saja dariku, hamba mohon kirimlah aku ketabahan dan keikhlasan berlimpah sebab aku seringkali lalai dan hancur perasaannya tanpa ingat Engkau Maha Melihat dan Mengetahui apapun yang hamba sembunyikan.

Maka jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah (Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakal, dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy (singgasana) yang agung.” (Q.S. 9:129)

Ya Allah, aku tahu aku sedih dan aku sulit menerima keadaan yang sulit ini. Tapi hambaMu ini hanya makhluk lemah yang tiada mengetahui apapun atas kuasamu, maka buatlah aku pasrah hanya kepadaMu.

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. 2:216)

Aamiin.

 

8 Oktober, 2013.

Di bawah kesenduan sendiri tanpa harta apapun yang Allah titipkan dan dalam tipisnya iman akan takdirNya.

Yuli Kwania.

Lulus; Antara Senang dan Sedih.

Bismillah. Ingin sedikit berbagi cerita bahagia nih. Alhamdulillah pada Selasa, 1 Oktober 2013, kakak perempuan saya akhirnyaaaaa resmi menanggalkan status mahasiswanya dengan diwisuda. Senang, sedih, deg-degan dan sebagainya kalo kata kakak saya sih. Saya ngga tau juga kaya gimana aslinya perasaan diwisuda itu. But she looks quite happy.

Wisuda. Apa sih yang ada di pikiran kita kalo denger kata itu? Seneng? Pengen cepet-cepet? Atau biasa aja? (Ya biasa ajaaa kaleee mbak belom juga diwisuda kan hehehe) Jujur, kalo saya akhir-akhir ini ngerasa takut diwisuda. Loh kok takut? Takut hareudang di Gymnasium (ups)? Takut IPK nya jelek? Ih, ngga sama sekali kok. Saya pernah mikir, kalo udah selesai kuliah, artinya kita udah siap menghadapi stage yang jauh lebih sulit, lebih menegangkan, even more challenging. Sudah siapkah saya menghadapi itu? Loh, kan kalo mau nikah harus lulus dulu ya.. *berpikir keras*

Seperti misalnya, kita lulus SMA. Waktu SMA kita seneng banget kalo guru ngga ada (ya itu sih elu aja kali, Yul..). Beda lagi di perkuliahan. Kalo ngga ada dosen, rasanya bête, sedih kadang kesel bukan main. Perjuangan ke kampus dan ngerjain tugasnya yang  udah mati-matian itu ternyata /ceeesssssshhhh…/ udah aja ngga diliat sama sekali. Ya jauh banget antara waktu SMA dan kuliah aja. Apalagi perkuliahan dan kehidupan sesungguhnya setelah diwisuda. Artinya saya harus bekerja, menghasilkan uang, semakin diharap-harapkan oleh orang tua, daaan living under much more pressure.

Berikut sedikit dokumentasi kakak saya yang cantik banget selesai diwisuda. Coba tanya dong, siapa make up artistnya? Yak, betuuuuul. Saya hehe..

DSC02447DSC02457

Fenomena Kegilaan K-Pop

 Bismillah.. Sejujurnya tulisan ini saya buat karena rasa prihatin saya yang besar pada fenomena kegilaan banyak remaja (bahkan dewasa) perempuan dan laki-laki pada K-Pop.  I’d like to tell you first whether you think I’m wrong or not, I’m still here to remind you not to be lost in such an insanity.  Loh kok ‘kegilaan’ sih? Kenapa saya sebut gila yaa karena perilaku para penggemar K-Pop itu sebagian besar berperilaku seperti tidak normal, lupa daratan, lupa untuk apa dan untuk siapa kita hidup di dunia fana ini. Saya dulu penggemar fanatik girlband dan boyband K-Pop. Yaa, karena itulah saya tau apa rasanya kegemaran pada mereka itu seperti apa. Cekidot yaa. Semoga bermanfaat.

Kegilaan pertama yang saya perhatikan ada pada penggemar K-Pop itu adalah kegilaan buang-buang uang. Kenapa buang-buang uang? Kalo girlband K-Pop kesukaan kita ngeluarin album baru, kita langsung secepatnya beli. Ngga cuma albumnya tapi juga posternya, notebooknya, sampai mugnya. Belum lagi kalo ada konsernya seberapa jauhpun dikejaaaarrrrr dan berani bayar lah. Yaa pokoknya semuanya yang berbau artis kesukaan kita itu lah. Beberapa dari mereka ini bela-belain ngirit uang jajannya dengan ngga makan atau puasa atau diet lah namanya demi membeli berbagai perabotan kurang manfaat itu. Kenapa ngga bermanfaat? Aduuh, gue tuh suka banget sama dia! Oh sabar..sabar.. Belum selesai penjelasannya. Baca dulu ya sampai selesai. Kalo ngerasa ‘jleb’ artinya kalian masih bisa saya bantu selamatkan dari kegilaan ini. :p

Oke, selanjutnya adalah kegilaan kedua adalah kegilaan buang-buang waktu. Coba kalian wahai penggemar fanatik artis K-Pop, berapa banyak waktu yang kalian pergunakan selama dua puluh empat jam untuk download, nonton dan mikirin artis-artis itu? Pulang sekolah atau ngampus langsung online khusus ngepoin artis kesukaan kalian. Lupa makan, lupa mandi, lupa ngerjain PR dan berbagai lupa lain-lainnya. Ayo, akuin aja deh hehe. Berbagai kelupaan kalian ini hampir semuanya menyebabkan kerugian untuk  diri kita dan bisa jadi ke orang lain. Masa sih merugikan? Ya iya dong. Misalnya kita lupa makan, nah bisa aja kita sakit kan. Trus kita lupa waktu dan selalu kurang tidur demi nontonin variety show atau reality show nya bias (artis kesukaan atau yang diidolakan) kita maka bisa jadi kita besok pagi ngantuk di kelas dan ngga ngerti pelajarannya karena ketiduran. Yaa, itu cuma contoh kecil yang paling mungkin terjadi sehari-hari.  Ayooo, pada ngerasa ngga tuuuh?

Selain itu juga bikin penyakit hati. Ih apaan sih? Masa penyakit hati? Coba kalo misalnya artis yang kita suka itu foto bareng fansnya yang lain dan muncul perasaan iri atau marah yang ngga jelas. Semua orang kena semprot alias kena marah-marah ga penting. Atau misalnya, artis kita ternyata punya pacar dan di expose di berbagai media, beuuuuh hati rasanya kaya diiris-iris, kesel bukan main. Padahal, siapa sih kita di mata artis yang kita suka? Apa mungkin beneran artis itu tau betul nama kita, tau nama saya Yuli yang ngefans sama saya itu ya (ceritanya ini kalimat yang diucapin artis itu). Ngga mungkin banget kan? Trus untuk apa dong kita bikin capek hati, makan hati, panas hati karena artis-artis yang ngga kenal kita juga? Dan kita ngga inget tuh sama orang tua di rumah yang mikirin kita setiap saat, khawatir kalo kita sakit.. Apa balesan kita? Cuma inget sama artis itu, lupa sama orang tua. Dan kita mau jadi anak durhaka demi artis yang entah mengenal dan khawatir pada kita atau ngga itu? Na’udzubillahi min dzaalik.

Saudara-saudariku, ingatlah untuk apa dan untuk siapa sih kita hidup ini?

Oleh siapakah kita diciptakan?

Mengapa kita diciptakan dengan cara yang sempurna?

Semuanya tiada lain hanya untuk dan hanya karena Allah. Allah, Tuhan kita yang Maha Baik ini sangat menyayangi kita. Dia tidak menciptakan mata ini untuk menonton artis yang menebar auratnya pada siapa saja tetapi untuk melihat hal yang baik seperti membaca al Qur’an dan membaca ilmu yang bermanfaat, Dia tidak menciptakan telinga kita untuk mendengarkan musik-musik yang melenakkan tetapi untuk mendengar hal-hal baik seperti mendengar firman Allah dalam kitabNya, Dia juga tidak mencukupi rezeki kita untuk dihambur-hamburkan membeli barang-barang kurang manfaat itu tetapi untuk mencukupi kebutuhan hidup kita atau bersedekahlah untuk orang-orang yang kekurangan. Dia tidak menciptakan kita dengan sia-sia. Dia menciptakan kita untuk beribadah, menjadi hambaNya, patuh pada perintahNya dan menjauhi apa-apa yang Dia larang.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal,” (Q.S. Al Anfal : 2)

“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (Q.S. Al A’raf : 179)

Lalu kenapa kita habiskan waktu kita di dunia ini untuk hal-hal yang jauh dari kata ‘manfaat’ seperti menggilai artis-artis semacam itu?

Apakah dengan mengidolakan mereka akan membawa kita menuju kebahagiaan yang kekal abadi di surga?

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “(Kalau begitu) engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain di Shohih Bukhari, Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.”

 

Jadi kesimpulannya, jangan habiskan waktu hidup kita yang sebentar ini untuk hal-hal yang kurang bermanfaat seperti tergila-gila dengan artis atau idola kita. Bukankah kelak kita akan bersama orang yang kita cintai di akhirat? Seandainya kita mengidolakan, mencintai bahkan memuja-muja kafir maka kita tahu di mana kita kelak akan berada; apakah di syurga atau di neraka. Jadikanlah idolamu dan tambatan cintamu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, para sahabat lainnya, dan orang sholeh bukan para artis, pemain bola dan pelaku maksiat lainnya. Realisasikan cintamu dengan mengikuti jejak mereka (orang-orang sholeh) dalam setiap perkataan dan perbuatan.

 

Semoga kita semua bisa memanfaatkan waktu hidup dengan baik dan sungguh-sungguh menyiapkan kematian dan kembali pada sisi Allah. Aamiin.

Kamu Opportunis? Who cares!

Kamu Opportunis? Who cares!

May 29, 2013 at 10:16am

“Alah dia mah bikin proyek itu biar bisa lolos konferensi sana-sini”

“Dia ikutan organ itubukan karena apa-apa, Cuma buat ngehiasin CV aja!”

Pernah denger celetukan-celetukan nyelekit macam ini? Atau malah termasuk yangikut nyinyir juga? Jika iya, maka catatan saya kali ini agaknya akan sedikit mengernyitkan dahi anda.

 

Tulisan ini terinspirasi dari obrolan singkat antara saya dan Sosiana (Arsitektur 2011) beberapa hari yang lalu di sebuah forum yang kami ikuti. “Aku ikutan forum-forum kayak gini bukan termasuk opportunis kan?” kira-kira seperti itu. Sangat wajar ketika seorang mahasiswa memiliki ketakutan seperti demikian. Apalagi kalo inget kata-kata sakti uda Tan Malaka “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”. Rasanya langsung jadi mahasiswa paling hina kalo udah kena cap opportunis.

 

Tapi yang ingin saya bahas kali ini mungkin agak sedikit berbeda, semoga setelah ini orang-orang tidak memberi saya lebel opportunis. Setelah satu malam berkontemplasi di kahuripan (kereta maksudnya), yang merupakan perenungan dari hasil pengamatan saya terhadap rekan-rekan di sekitar selama dua tahun terkahir, tibalah saya pada sebuah paham jika tidak ingin disebut sebagai ‘pembenaran’. Bahwa pada dasarnya ‘opportunis’ bukanlah negasi dari kata idealis. Saya beri tanda petik pada kata opportunis dalam artian bahwa opportunis yang saya maksudkan disini harus sesuai dengan konteks yang saya bawa dari awal. Jadi mohon jangan dibengkokkan.

 

Saya sangat bangga dengan semangat teman-teman dalam menginisiasi berbagai project untuk ikut menanggulangi permasalahan negeri. Saya juga sangat senang melihat antusiasme rekan-rekan dalam berbagai konferensi dan forum yang diperhelatkan tahun-tahun terakhir. Menjamurnya berbagai organisasi kepemudaan saya yakini juga adalah sebuah fenomena positif yang harus kita dukung. Namun pemberian label opportunis kemudian justru mematahkan semangat yang telah menghujam di hati rekan-rekan semuanya. Menghentikan langkah yang sejatinya sudah hampir dijejaki. Baik, saya jelaskan.

 

Suatu ketika mas Ghufron Mustaqim(HI 2009) pernah bilang sama saya “Tidak mungkin seseorang mau melakukan suatuhal jika apa yang ia lakukan tidak membawa benefit. Benefit itu dapat berupamateri, pengalaman, protofolio, networking, atau apa saja. Intinya ketika kita melakukan sesuatu, sudah pada fitrahnya kita akan mengharapkan timbal balik dariwaktu, tenaga, dan uang yang kita korbankan”. Secara ekonomi hal ini disebut costand benefit. Jadi menurut hemat saya, memang tidak ada salahnya menjadi ‘opportunis’.Tidak salah ketika seorang teman ternyata masuk dalam sebuah organ agar bisamenuliskannya di CV. Tidak salah ketika seorang teman bersedia menjadi graphic designer di sebuah NGO tanpa bayaran ternyata salah satu tujuannya adalah untukmemperkaya portofolionya. Dimana letak salahnya? Yang salah adalah ketika kitahanya mengambil benefit tanpa berkontribusi disana.

 

Karena toh pada akhirnya yangakan dilihat orang adalah output kerja kita, mereka tidak akan peduli denganmotivasi yang kita jawab ketika sesi interview. Barangkali awalnya saya berniatmenginisiasi sebuah social enterprise agar menang dalam sebuah kompetisi, namun apakah ini salah jika dalam pelaksanaannya ternyata bisnis tersebut benar-benarmembawa kemaslahatan untuk orang banyak.  Saya ingat dengan sebuah prinsip mendasardalam islam “Innamal a’malu binniat” bahwa setiap amal dinilai berdasarkan niatnya. Namun yang saya yakini aktualisasi diri sama sekali bukanlah niatanyang buruk, lebih-lebih ketika hal tersebut ternyata justru berdampak positifuntuk lingkungan sekitar kita. Komparasi ekstrimnya nih ya, pilih mana orang yang ikhlas nyumbang duit 5 ribu ke pengemis sama orang yang bikin proyekpemberdayaan satu lingkungan pengemis (meskipun bisa jadi orang yang kedua inimotivasi awalnya biar proyek ini bisa tembus sebuah forum changemaker tingkat internasional). Hayoooo, kalo saya jadi pengemisnya sih pilih orang kedua, ngga peduli dia ngebuatnya ternyata untuk apa, tapi selama proyek tersebut mampu menanggulangi masalah kami, who cares?.

 

Yang ingin saya sampaikan sebenarnya adalah…. ayo dong berhenti men-judge satu sama lain. Kita semua sedang belajar bergerak, merangkak, hingga akhirnya mampu berlari bersama membawa bangsa ini ke tatanan yang lebih baik lagi. Sedih banget ketika ada yang udah memulai tapi kemudian justru semangatnya dipatahkan sama nyinyiran-nyinyiran semacam ini. Yang saya yakini dan saya alami, justru idealisme itu akan terpatri kuat ketika kita mendapatkannya melalui metamorfosa alami. Seiring berjalannya waktu kita akan ngedapetin feel nya kok, ngerasain cinta sama Indonesia bener-bener dari hati yang paling dalam bukan karena ada apa-apanya dari yang dia punya (D’masiv 2011). Pasti dalam perjalanannya kita akan sampai pada titik dimana kita bergerak bukan lagi untukmendapat apresiasi, bukan dalam ikhwal memenangkan kompetisi, melainkan memang karena kita tidak kuasa melihat negeri ini semakin lama dalam stagnansi. Jadi yuk bergerak dan belajar bersama!

 

p.s: jika terdapat kesalahan dalam logika berfikir saya, mohon diingatkan dan diluruskan agar saya kembali ke jalan yang benar

Regards,

Siti Kholifatul Rizkiah

“Jangan mencint…

“Jangan mencintai orang yang tidak mencintai Allah. Jika mereka dapat meninggalkan Allah, mereka akan meninggalkanmu.” (Imam Syafi’i rahimahullah)

Ya Allah, dekatkanlah kami selalu dengan orang-orang yang mencintaiMu dan jadikanlah kami orang-orang yang mencintaiMu.

Mengapa Makan Tape Tidak Haram? (Tidak Semua yang Beralkohol Haram)

Semakin cari tahu semakin tahu bahwa kita tidak banyak tahu.

Catatanku

Saya pernah ditanya oleh seseorang apakah makan tape itu haram sebab di dalam tape terkandung alkohol. Bukankah meminum yang beralkohol itu haram hukumnya dalam agama Islam? Begitu tanya orang itu. Tape adalah produk makanan tradisionil Indonesia yang merupakan hasil fermentasi dari bahan baku singkong/ketela (dikenal dengan tape singkong atau peuyeum kata orang Sunda atau tapai kata orang Minang) atau beras ketan (dikenal dengan tape ketan).

Sejak saya kecil hingga besar saya belum pernah mendengar ada ulama yang mengharamkan makan tape (kalaulah diharamkan pasti sejak dulu tidak ada orang Islam yang membuat tape atau menjual tape), tapi pertanyaan seperti itu mengusik saya juga. Saya mencari-cari jawabannya di Google dan ketemu jawaban dari Ustad Ahmad Sarwat Lc di situs Eramuslim.com (baca di sini). Dari penjelasan Pak Ustad saya menjadi paham bahwa Al-Quran atau hadis Rasulullah tidak menyebutkan minuman yang diharamkan adalah alkohol, tetapi yang diharamkan adalah khamar.

“Semua yang memabukkan…

View original post 555 more words

I Almost Do by Taylor Swift

I bet this time of night you’re still up.
I bet you’re tired from a long hard week.
I bet you’re sitting in your chair by the window looking out at the city.
And I bet sometimes you wonder about me.

And I just wanna tell you
It takes everything in me not to call you.
And I wish I could run to you.
And I hope you know that every time I don’t
I almost do,
I almost do.

I bet you think I either moved on or hate you
‘Cause each time you reach out there’s no reply.
I bet it never ever occurred to you that I can’t say “Hello” to you
And risk another goodbye.

And I just wanna tell you
It takes everything in me not to call you.
And I wish I could run to you.
And I hope you know that every time I don’t
I almost do,
I almost do.

Oh, we made quite a mess, babe.
It’s probably better off this way.
And I confess, babe,
In my dreams you’re touching my face
And asking me if I wanna try again with you.
And I almost do.

And I just wanna tell you
It takes everything in me not to call you.
And I wish I could run to you.
And I hope you know that every time I don’t
I almost do,
I almost do.

I bet this time of night you’re still up.
I bet you’re tired from a long hard week.
I bet you’re sitting in your chair by the window looking out at the city.
And I hope sometimes you wonder about me.

 

..dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam.

Arrahmah.com/Muslimahzone.com – Ibu Guru berkerudung rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, “Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus.

Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!” Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.

Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”. Dan permainan diulang kembali.

Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.

“Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya.

Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika.”

“Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Guru kepada murid-muridnya. “Paham Bu Guru”

“Baik permainan kedua,” Ibu Guru melanjutkan. “Bu Guru ada Qur’an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu “dijaga” sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet.

Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?” Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil.

Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet.

“Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”

“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.”

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?” tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang…”

Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.

***

Ini semua adalah fenomena Ghazwu lFikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Allah berfirman dalam surat At Taubah yang artinya:

“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedang Allah tidak mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir itu benci akan hal itu.”(QS. At Taubah :32).

Musuh-musuh Islam berupaya dengan kata-kata yang membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat umumnya, khususnya generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.

Begitulah sikap musuh-musuh Islam. Lalu, bagaimana sikap kita…?

-Note From Brother Asep Juju-

(anna/muslimazone.com)

– See more at: http://www.arrahmah.com/read/2012/07/15/21646-beginilah-mereka-menghancurkan-kita-lalu-bagaimana-sikap-kita.html#sthash.ZbpFy2Nl.dpuf

Arrahmah.com/Muslimahzone.com – Ibu Guru berkerudung rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, “Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus.

Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!” Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.

Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”. Dan permainan diulang kembali.

Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.

“Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya.

Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika.”

“Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Guru kepada murid-muridnya. “Paham Bu Guru”

“Baik permainan kedua,” Ibu Guru melanjutkan. “Bu Guru ada Qur’an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu “dijaga” sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet.

Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?” Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil.

Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet.

“Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”

“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.”

“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?” tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang…”

Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.

***

Ini semua adalah fenomena Ghazwu lFikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Allah berfirman dalam surat At Taubah yang artinya:

“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedang Allah tidak mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir itu benci akan hal itu.”(QS. At Taubah :32).

Musuh-musuh Islam berupaya dengan kata-kata yang membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat umumnya, khususnya generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.

Begitulah sikap musuh-musuh Islam. Lalu, bagaimana sikap kita…?

-Note From Brother Asep Juju-

(anna/muslimazone.com)

– See more at: http://www.arrahmah.com/read/2012/07/15/21646-beginilah-mereka-menghancurkan-kita-lalu-bagaimana-sikap-kita.html#sthash.ZbpFy2Nl.dpuf

Hati yang (Sudah) Baru, Alhamdulillah..

Dalam reguk do’a kuminta pada pemilik hati ini untuk menghadiahiku sebongkah hati yang baru. Do’a yang sungguh jika ia adalah pakaian maka pastilah telah usang karena terlalu sering dikenakan. Karena Tuhanku, Allah, berjanji akan mengabulkan segala do’a yang berbisik di tengah tangis maupun yang diteriakkan sampai kering suara ini. Sebab hamba Allah yang sedih dan berduka dalam ini yakin.

Sesungguhnya Allah baik dan tidak mengabulkan (menerima), kecuali yang baik-baik (HR. Muslim)

Alhamdulillah ya Allah. Engkau yang maha membolak-balikkan, memutar dan mencabut juga memasang hati ini, akhirnya kuraih sebongkah hati ini, yang benar-benar baru. Hati yang baru, yang selalu aku merengek pedih untuk mendapatkannya.

Janganlah kamu bersikap lemah dan bersedih hati, padahal kamulah orang orang yang paling tinggi derajatnya, jika kamu orang orang yang beriman. (QS. Ali-Imran:139)

 

Image